Senin, 04 Juli 2011

Mathaliul falah

MATHALIUL FALAH DAN POTRET SOSIAL-GEOGRAFIS DESA KAJEN
Kajen merupakan contoh potret desa yang unik dan menarik, lazimnya sebagai sebuah desa Kajen tidak memiliki sawah. Disana kehidupan bisa dikatakan maju dari segi pendidikan karena memang Kajen terkenal dengan sebutan “Kampung Santri” yang memiliki 24 pesantren dan lebih dari 5 sekolahan madrasah. Untuk hitungan sebuah desa catatan ini sangatlah mengagumkan. Disamping populer dengan predikat atau julukan “kampung Santri” dan menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai daerah, di desa ini pernah hidup orang suci bernama Syech K.H Ahmad Mutamakkin ( Mbah Mutamakkin ), cikal bakal keberadaan desa Kajen.

Sebagaimana diketahui banyak orang, desa yang tidak mempunyai sawah itu menyimpan sejarahnya yang panjang. Meskipun tidak mempunyai sawah seperti desa-desa yang lain, namun secara ekonomi masyarakat kajen bisa dikatakan kecukupan. Bahkan setiap tahunnya peningkatan itu dapat disaksiskan dan dirasakan. Keberadaan masyarakat Kajen tertopang dengan mukimnya ribuan santri yang berdatangan dari berbagai penjuru Indonesia, mereka datang untuk merasakan sejuknya desa Kajen dan ramainya kegiatan tholabul ‘ilmi.

Bau menyengat hidung adalah kesan pertama kali bagi para pendatang ketika memasuki desa kajen, karena memang daerah ini dialiri sungai tempat pembuangan limbah tapioka desa ngemplak yang membelah desa dari arah barat ke timur menuju ke muara laut bulumanis. Bau limbah itu bagi masyarakat desa telah menjadi bagian dalam hidupnya, seakan mereka sudah kebal dan tak perlu menghiraukannya lagi. Selain suasananya yang sejuk dan damai, desa ini identik dengan keberadaan bangunan-bangunan yang dihuni oleh banyak santri mukim yang lebih dikenal dengan nama pesantren. Secara sosiologis desa kajen merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh penduduk yang bercorak homogen, yang sebagian besar masyarakatnya memeluk dan meyakini ajaran Islam sebagai dasar dalam perilaku hidup sehari-hari.

Karena kondisi wilayahnya yang tidak memiliki areal persawahan, masyarakat kajen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bertopang pada perniagaan dan mengerjakan lahan milik desa sekitar. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat memegang norma-norma sosial baik itu yang tertulis seperti yang dianjurkan dalam ajaran agama Islam atau norma yang bersifat konvensional, seperti dilarang membuat keonaran dan mencoreng nama baik desa dan leluhur. Dalam pelaksanaan norma-norma tersebut kesadaran masyarakat lebih didorong oleh ketaatannya kepada kiai yang memang dalam penerapan sebuah kebijakan baik itu yang bersifat formal ataupun informal lebih efektif dibanding birokrasi setempat. Karena kiai dalam masyarakat kajen selain memiliki nilai historis yang panjang dalam sejarah masa lalunya, juga menempati posisi terpenting sebagai salah satu unsur dalam struktur sosial masyarakat kajen. Dalam sejarahnya birokrasi pemerintahan desa terlihat subordinat terhadap para kiai, selain kurang berfungsinya pamong desa dalam kegiatan kemasyarakatan, hal ini juga dikarenakan masyarakat masih percaya betul bahwa figur seorang kiai mampu untuk digugu dan ditiru dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari-hari.

Secara geografis, desa kajen berada di wilayah pati sebelah utara, tepatnya di lembah sebelah timur gunung muria, menghampar ke arah barat dari pantai bulumanis yang landai dengan kesuburan tanah yang cukup. Desa ini berdiri diketinggian sekitar 300 m dari permukaan laut dengan hawanya yang sejuk penuh rindangnya berbagai tumbuhan dan jernihnya mata air murni, yang dalam situasi tertentu kedalaman 1,5 meter sudah memancarkan sumber air . Jarak 18 km dari kota pati kearah utara desa ini akan kita jumpai, tepatnya di kecamatan Margoyoso. Dengan luas wilayah yang hanya sekitar 63 hektar dengan penduduknya yang padat, menjadikan sebagian besar desa ini berupa pekarangan yang ditanami ketela dan pohon kelapa seluas hampir 4 hektar yang berada sekitar rumah penduduk.

Kondisi ini mengakibatkan penduduk desa kajen mesti memutar otak untuk mencari lahan penghidupan, dengan tuntutan itu akhirnya mereka melakukan aktifitas ekonomi dalam bidang, perdagangan, jual jasa, dan menjadi buruh tani dan pabrik tapioka di desa seberang. Atau bagi sebagian penduduk yang memiliki kapital dan masih ingin melakukan kerja di bidang pertanian berusaha menyewa sawah di desa sekitar kajen atau membuka usaha pemenuhan kebutuhan para santri.

Saat ini ada 26 pesantren dan ribuan santri yang bertholabul ilmi di desa kajen, dagang dan jual jasa menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, bahkan bisa dipastikan disekitar setiap pesantren yang ada di kajen berdiri minimal, warung makan dan toko kelontong. Dengan konsumen yang tetap dan berjumlah besar, warung makan dan toko kelontong mengalami perkembangan yang pesat dan lebih dari cukup untuk sekedar menopang kebutuhan hidup sehari-hari.

Ditengah desa kajen, berdiri sebuah bangunan sebagai pusat administrasi pemerintahan desa atau balai desa, letaknya tepat disebelah selatan masjid besar desa kajen dan arah timur makam syech Ahmad Mutamakkin, tokoh religius desa kajen yang dikeramatkan dan menjadi cikal bakal adanya desa ini. Meski setiap harinya tidak begitu difungsikan, balai desa saban tahunnya pada bulan muharrom tgl 10 menjadi pusat informasi dan kegiatan masyarakat, yaitu ritual yang ditungu-tunggu setiap warga desa dan menjadi agenda rutin tahunan, haul syech Ahmad Mutamakkin.

Kegiatan administrasi desa tidak efektif dan cenderung vakum kecuali pada momen-momen tertentu, hal ini dikarenakan oleh kondisi desa kajen, sebagai sebuah pedesaan kajen tidak memiliki bengkok atau bondo desa, akhirnya pamong desa hanya digaji sekedarnya dengan jumlah yang sangat minim, hal ini menjadikan jabatan itu sekedar kerja sambilan bagi orang yang mendudukinya, sehingga warga kurang berminat untuk menjadi pamong desa. Kalau tidak lowong, pernah carik mesti merangkap menjadi pejabat sementara lurah desa mulai tahun 1986 sampai pada tahun 1998 dan baru pada akhir tahun itu diadakan pemilihan lurah.[1]

Selain karena faktor sejarah, desa kajen pernah menjadi tanah perdikan, tidak efektifnya struktur dan kinerja administrasi desa menjadikan pengaruh kekuasaan pemerintah pusat sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Meskipun pendapatan desa hanya bertumpu pada pemasukan peringatan khaul syeh Ahmad Mutamaakin setiap 10 muharrom pada tiap tahunnya, kemakmuran dan kemajuan desa ini melebihi desa-desa sekitarnya.

Keberadaan pesantren sebagai pusat studi keislaman dan da’wah menjadikan kajen identik dengan sebutan “Kampung santri”, keunikan ini terlihat setiap hari terutama pada pagi dan sore hari berbondong-bondong para santri menyebar menyusuri jalan desa menuju tempat-tempat pendidikan. Setiap saat hampir diseluruh pelosok desa akan mudah ditemui sosok santri yang populer dengan sebutan kaum sarungan ini. Kemanapun mereka pergi dan berada di wilayah ini dapat dipastikan mengenakan sarung dan peci sebagai sebuah identitas yang melekat pada dirinya. Seakan ada semacam tuntutan yang menjadikan mereka harus menggunakannya dan ada perasaan malu dan bersalah ketika tidak memakainya.

Di waktu gelap dalam keremangan malam yang khusuk terdengar sayup menghampiri gendang telinga setiap penghuninya, suara-suara merdu yang mengalunkan lantunan melafalkan kalam ilahi, apalagi setiap malam jum’at disebuah bangunan yang berada ditengah Desa berbondong-bondong santri dan masyarakat sekitar datang untuk membaca yasin dan tahlil bermunajad dan wasilah dimakam Syech Ahmad Mutamakkin, tokoh perintis Desa yang dianggap masyarakat sekitar sebagai seorang kekasih Allah ( Waliyullah ).

Ritual ini tidak hanya bernilai religius dan ilahiah, karena sekarang keberadaan Makam selain menjadi pusat ibadah dan kegiatan keagamaan bagi santri dan masyarakat setempat juga mendatangkan rezeki dengan berjalannya kegiatan ekonomi di sekitar Makam. Berderet bangunan permanen yang menyediakan berbagai kebutuhan dan souvenir bagi para peziarah, mulai dari penjual makanan dan minuman sampai penjual buku, peci dan keperluan komunikasi dengan adanya wartel. Perkembangan ini mendatangkan berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar kajen, mereka dapat menggantungkan rezeki dari para peziarah yang datang setiap hari dan mulai ramai di malam jum’at.

Keramaian itu meningkat dan mencapai puncaknya setiap malam 10 syuro dengan diperingatinya Haul Syech Ahmad Mutamakkin, ritual ini sudah menjadi agenda tahunan dan ceremonial bagi masyarakat wilayah ini dan sekitarnya, bahkan peziarah setiap tahunnya terus meningkat dari berbagai penjuru Indonesia. Ritual ini diisi dengan berbagai agenda kegiatan oleh panitia, yang dimulai pada tanggal 8 Syuro pada jam 20.00 WIS [2] dengan pembacaan Burdah ( pembacaan syair-syair yang berisi tareh Nabi Muhammad S.A.W), dilanjutkan pada tanggal 9 Syuro pada jam yang sama Tahlil Muqoddimah untuk umum dengan mendo’akan para leluhur dan nenek moyang dan pagi harinya diteruskan dengan ritual yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak yaitu acara buka selambu dan acara pelelangan. Dan pada tanggal 10 Syuronya pada jam 19.00 WIS diisi dengan acara Tahtimul Qur’an bin Nadlor ( Khataman Al-Quran dengan membaca Kitabnya ) diteruskan dengan Tahlil Haul pda jam 20.00 WIS baru pada malam berikutnya tanggal 11 Syuro ritual acara ditutup dengan manaqib pada jam 19.30 WIS.

Dari sekian agenda yang dilangsungkan setiap tahunnya yang menjadi puncak dan acara yang selalu dinanti-nantikan adalah buka kelambu yang dilanjutkan pelelangan, acara ini menjadi perhatian banyak pihak mulai dari para santri, tokoh-tokoh kiai, masyarakat setempat dan sekitar daerah Pati, bagi yang berminat mengikuti acara ini mesti rela untuk datang pagi-pagi sekitar jam 06.00 WIS, karena satu jam menjelang acara yang dimulai pukul 08.00 WIS tempat acara yang dilangsungkan di serambi makam Syech Ahmad Mutamakkin bagian timur telah padat penuh sesak para pengunjung. Acara ini pada intinya adalah mengganti berbagai kain yang digunakan untuk menutupi dan menghiasi Makam Syech Ahmad Mutamakkin, mulai dari layar yang menutupi kaca Makam bagian dalam sampai pada kain mori yang digunakan untuk penutup “patok”, kegiatan ini menarik, karena layaknya sebuah kain harga yang di tawar dalam lelang melebihi harga yang semestinya, hal ini wajar bagi masyarakat sekitar, karena acara ini diadakan setahun sekali selain kain itu merupakan kain yang digunakan menutup dan menghiasi Makam orang suci, bagi kepercayaan masyarakat kain tersebut mengandung tuah dan akan mendapatkan berkah bagi orang yang memakainya.

Selesai pelelangan ada acara yang telah menjadi adat dan tergolong unik, yaitu diadakannya makan bersama antara masyarakat umum, santri dan para tokoh kiai setempat di dalam satu “tapsi” atau nampan, mereka dibiarkan berebut tempat untuk membaur bersama. Hal ini menunjukkan bersatu dan padunya antara masyarakat dan para tokoh kiai setempat, dan begitulah semestinya antara pemimpin dan yang dipimpin. Pernah ada sebuah kejadian yang diceritakan oleh seorang kiai muda Desa Kajen yang pada saat itu melarang masyarakat yang ikut nimbrung dengan Mbah Abdullah Salam ( Mbah Dullah ) dengan memukul tangannya ketika akan mulai makan bersama, karena mendahului Mbah Dullah. Selesai acara kiai muda tersebut di panggil Mbah Dullah dan dikasih wejangan “ jangan ulangi kelakuan seperti tadi, karena sebenarnya Mbah Mutamakkin adalah seorang pemimpin yang merakyat, mencintai dan dicintai rakyatnya, bahkan wasilah kepada beliau dari rumah saja akan sampai tanpa harus datang kemakamnya” begitu pesan Mbah Dulllah kepada kiai muda itu.

Dalam acara ritual tahunan ini masyarakat dan santri juga mengadakan berbagai event untuk memeriahkannya, seperti kirab dan karnaval yang diikuti oleh semua RT yang ada di Desa Kajen, dalam kirab yang menjadi acara favorit adalah dengan hadirnya berbagai grup Drum Band dan Maching Band yang sengaja di datangkan dari berbagai wilayah di sekitar Pati, selain itu ada acara rutin tahunan yang menarik di lakukan oleh HSM ( Himpunan Siswa Mathali’ul Falah) yaitu bursa buku, bursa buku ini menghadirkan terbitan buku dari berbagai penerbit mulai dari Surabaya, Semarang dan yogyakarta.

Ribuan pengunjung yang datang menghadiri acara haul Mbah Mutamakkin, hampir selama satu minggu sebelum dan sesudah puncak acara, desa kajen telah ramai dari para pedagang dan pengunjung yang sengaja datang untuk ikut serta mengais rezeki dari barokahnya Waliyullah ini. Dua hari setelah dan sesudahnya tanggal 9 Syuro, kepadatan pengunjung mencapai klimaksnya, pertigaan Desa Ngemplak sampai pertigaan Desa Bulumanis penuh oleh lautan manusia, dapat dipastikan disaat seperti ini mobil sulit untuk melintas, apalagi memasuki area sekitar Makam, mereka mesti rela untuk berjalan kaki dari radius sekitar 1 Km dari Makam.

Situasi ini dimanfaatkan oleh sebagian penduduk yang mempunyai pekarangan sepanjang jalan keramaian, kereka mematok harga yang lumayan untuk sewa para pedagang, masih lagi kendaraan para pengunjung yang di parkir di tempat penitipan sepeda. Sampai sekarang belum ada yang pernah melakukan penelitian berapa jumlah rupiah yang berputar di Desa ini selama pelaksanaan haul Mbah Mutamakkin, namun jika dilihat dari puluhanan atau mungkin bahkan sampai ratusan kios yang berada di sepanjang jalan memasuki desa kajen dapat diperkirakan puluhan juta uang yang berputar mungkin bisa mencapai ratusan juta. Acara seremonial haul ini telah menjadi agenda tahunan dan salah satu ciri khas yang menjadi daya tarik desa Kajen dan selalu diadakan setiap tahunnya yang terus mengalami perkembangan. (sumber: pekajenan.blogspot.com)
mau tahu banyak tentang mathaliul falah? datang langsung aja ke kajen.
:) hehe


link tetangga : lampion